Subscribe Us

WAJIBKAH RAKYAT BERBAGI BEBAN DENGAN NEGARA?

Oleh Vindy. W. Maramis, S.S
(Pegiat Literasi Islam, Aktivis Dakwah) 


Vivisualiterasi.com-Tampaknya pemerintah masih terus melakukan skema kenaikan harga sejumlah komoditi bahan pokok. Terhitung per Januari 2022, pemerintah terus menaikkan sejumlah harga komoditi setiap bulan hingga saat ini. Pada Mei lalu, melalui Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani kembali melayangkan wacana kenaikan Tarif Listrik Dasar (TDL) untuk pelanggan 3.000 Volt Ampere (VA) ke atas. (Bisnis.com, 20/5/22) 

Ia menegaskan kenaikan tarif dasar listrik bagi pelanggan 3.000 VA telah mendapat persetujuan dari Presiden Joko Widodo dengan dalih “berbagi beban” dan bertujuan untuk menjaga daya beli masyarakat yang rentan akibat gejolak harga komoditas pada tahun ini. Di sisi lain, banyak industri tekstil justru menyayangkan rencana tersebut di tengah membengkaknya ongkos produksi akibat fluktuasi harga bahan baku global. Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta mengkhawatirkan manuver pemerintah itu bakal menambah beban industri tekstil dalam negeri yang belum sepenuhnya pulih dari pandemi Covid-19. Gita mengungkapkan, “Sebetulnya kita harus korek lagi alasan PLN harus menaikkan harga listrik, sampai saat ini PLN belum terbuka kepada pelanggannya“.

Selama ini masyarakat sudah menunaikan kewajiban membayar tarif listrik walaupun kualitas pelayanan sering kali mengecewakan. Sekalipun mendapatkan pelayanan publik seperti akses listrik adalah hak rakyat. Tetap saja rakyat dengan patuhnya membayar tarif tersebut. Padahal yang namanya hak mestinya didapatkan secara cuma-cuma atau minimal dengan harga yang murah.
 
Pemerintah, bila merujuk pada kewajibannya maka sudah seharusnya menyediakan fasilitas publik seperti listrik dengan pelayanan yang baik. Berupa menggratiskan atau membuat tarif listrik murah, namun kenyataannya tidak. Dalih “berbagi beban” yang dilontarkan pemerintah jelas terdengar nonsense di tengah kondisi masyarakat yang dihantam kesulitan ekonomi sejak 2 tahun belakangan. Secara logika, dari sisi peran yakni hak dan kewajiban antara rakyat dengan pemerintah pun tidaklah sesuai dengan pernyataan “berbagi beban”. Sekalipun Covid-19 dinyatakan bukan lagi sebagai pandemi, namun faktanya masyarakat masih harus menyesuaikan diri dalam memulihkan ekonomi. Ditambah pemerintah yang terus menaikkan harga sejumlah bahan pokok, tentu hal ini makin membuat masyarakat kesulitan mengatur rencana keuangan. Apalagi pendapatan tak sebanding ditambah tak kunjung naik. Namun anehnya, di tengah masyarakat merasakan kesulitan ekonomi, para elite pejabat di negeri ini justru mengalami kenaikan pendapatan sejak terjadinya pandemi Covid-19. 

Inilah representasi dari penerapan sistem kapitalisme yang substansinya sekularisme (pemisahan pengaturan agama dari kehidupan). Sistem kapitalisme ini legitimasinya adalah materi, untung dan rugi. Paradigma kapitalisme telah menggeser peran antara pemerintah dengan rakyat. Dalam sistem ini, rakyatlah yang dituntut untuk berperan membantu meringankan beban pemerintah. Sedangkan pemerintah beserta elite jajarannya terus memperkaya diri dengan berbagai macam proyek yang mengitari mereka. Pemerintah bukan lagi berperan sebagai pelindung dan pelayan rakyat. Melainkan rakyat yang harus melayani mereka yang di atas. 

Berbeda dengan pemimpin dalam sistem Islam. Islam akan membentuk para pemimpin yang berakhlak mulia, cerdas, memiliki syakhsiyah islam (pribadi islam), adil, amanah, dan takut pada-Nya. Dengan begitu ia mampu menjalankan kepemimpinannya sesuai dengan tuntunan Al Qur'an dan As-sunnah, dan enggan menyusahkan atau menzalimi rakyatnya. Pemimpin dalam sistem Islam juga memiliki empati pada rakyat dan integritas yang tinggi dalam bekerja. 

Salah satu contoh kepemimpinan yang ada dalam sistem Islam ialah kisah Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Seorang pemimpin yang menjalankan amanahnya sesuai dengan tuntunan syariat, sehingga Allah melimpahkan keberkahan berupa melimpahnya harta di baitul mal pada masa kepemimpinannya. Bahkan dalam masa kepemimpinannya, tak ada satu rakyat pun yang miskin. Hal tersebut membuat bingung khalifah falam mengalokasikan harta di baitul mal karena semua rakyatnya makmur dan berkecukupan. Tak ada satu pun rakyat yang berhak menerima zakat maupun sedekah. Sang khalifah bahkan tetap menjadi sosok sederhana sekalipun rakyatnya makmur. 

Begitu pula pelayanan publik dalam Islam, haruslah diberikan secara gratis ataupun murah kepada masyarakat karena bagian dari kewajiban negara atas rakyatnya. Salah satu mekanisme dalam Islam yang digunakan adalah dengan mengelola sumber daya alam secara mandiri oleh negara. Sumber daya alam yang ada haruslah dikelola oleh negara secara mutlak dengan melibatkan masyarakat, serta tidak boleh diserahkan kepada korporasi baik lokal maupun asing. Ini demi menjaga intervensi dari pihak luar yang memungkinkan akan menggunakan pola kapitalistik yang akan merugikan negara dan masyarakat. Cara ini tentu akan mampu mendorong tingkat produksi dan distribusi ke tengah masyarakat dengan maksimal dan tepat sasaran. Sehingga semua masyarakat mampu merasakan manfaat dari pengelolaan sumber daya alam secara mandiri tersebut. Wallahu 'alam. [NFY]

Posting Komentar

0 Komentar