Subscribe Us

UTANG DAN PAJAK, ANTARA KAPITALISME VS ISLAM

Oleh Suci Riyani, S.E 
(Aktivis Dakwah) 


Vivisualiterasi.com-Data Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mencatat adanya kenaikan utang Indonesia pada 28 Februari 2022 tercatat mencapai Rp 7.014,58 triliun. Rasio utang terhadap PDB di akhir Februari sebesar 40,17 persen. (Kompas.com, 16/04/2022)

Dari fakta di atas, jika kita berpikir lebih jauh maka muncul pertanyaan dalam benak kita. Bagaimana cara melunasi utang luar negeri dengan jumlah yang sangat fantastis itu? Apakah negara harus mencetak uang sebesar Rp7.014,58 triliun? 

Baik, dalam teori ekonomi kapitalis kita akan coba pelajari secara sederhana bagaimana mekanisme negara dalam membayar utang luar negerinya. Negara tidak bisa serta merta mencetak uang sendiri dalam hal ini (Rupiah) untuk melunasi utangnya, karena hal itu akan menyebabkan terjadinya inflasi. 

Inflasi menurut teori kuantitas yang dikemukakan oleh Irving Fisher, MV=PT. Faktor yang dianggap konstan adalah V dan T, sehingga jika M (money in circulation) bertambah, maka akan terjadi inflasi (kenaikan harga). (tirto.id)

Bank central (BI) juga tidak bisa mencetak uang sebesar utang negara untuk melunasinya. Karena kedudukan BI adalah lembaga independen. (Undang-Undang Republik Indonesia No.6/2009)

Kedua adalah utang luar negeri itu tanggung jawab pemerintah (Encyclopedia, Indonesia. "Bisakah Negara Mencetak Uang Untuk Membayar Utang?"), sedangkan bank central (BI) adalah suatu lembaga negara yang independen. Yang dilakukan oleh pemerintah untuk membayar utang adalah mendesain APBN dan menarik pajak. Negara juga melakukan utang dalam negeri, dengan cara menerbitkan surat utang negara.

Sederhananya adalah pemerintah menganjurkan kepada individu ataupun perusahaan untuk berinvestasi (menyetorkan dana) kepada negara, dengan kompensasi bunga di dalamnya. Karena jika dilihat dari manfaat penerbitan surat utang negara adalah untuk  pembiayaan APBN dengan jaminan pembayaran bunga dan pokoknya. 

Dengan diperolehnya dana dari individu maupun perusahaan setelah penerbitan SUN, maka uang tersebut akan digunakan oleh pemerintah untuk alokasi APBN. Dari sini, kita bisa mempelajari bahwa negara sudah terjebak dengan sistem ekonomi kapitalis, yang akhirnya membuat utang itu sebuah budaya yang sistemik. Kenapa menjadi sistemik, karena sistem kapitalis didesain untuk menjerat negara-negara lain berhutang kepada asing secara berkelanjutan dan tidak akan pernah ada habisnya. Itulah kenapa disebut dengan lingkaran setan, karena tidak akan pernah selesai mengurus utang luar negeri. Kemudian utang dalam negeri belum lagi bunganya. Hal ini menjadi watak dari negara imperialis yang melakukan aksi penjajahannya di bidang ekonomi. Menjerat negara jajahannya selalu bergantung kepada mereka. Belum lagi sistem uang global yakni dollar juga menjadi salah satu alasan untuk menjerat negara-negara berkembang. Bahkan tidak heran, kebijakan pembiayaan utang ini diambil dengan menimbang bahwa kebutuhan untuk pembangunan merupakan yang harus segera diwujudkan tanpa penundaan. Sesuai dengan filosofi mereka terhadap utang yaitu tambahan modal untuk membiayai pembangunan. Bahkan mirisnya pembangunan bukan untuk rakyat melainkan memenuhi proyek besar nafsu  para kaum kapitalis. 

Ustaz Budi Ashari ketika membahas Perekonomian Hampir Roboh Karena Hutang mengatakan, bahwa hutang di dalam Islam boleh. Akan tetapi untuk dijadikan sebagai kebiasaan yang sistemik, maka dimana letak syariatnya? Ketika uang kemudian dijadikan komoditas, muncul riba dimana-mana. Karena di dalam praktiknya, ekonomi yang dipakai hari ini mengharuskan untuk utang. Selain itu, utang merupakan investasi jangka panjang yang akan menghasilkan manfaat ekonomi yang lebih besar di masa mendatang. Negara juga memfokuskan pajak sebagai pos pendapatan negara.

Di dalam Islam, pajak (dharibah) diperbolehkan diambil kepada masyarakat ketika keadaan Baitul mal (kas negara) kosong. Tetapi juga tidak mudah. Sebelum membahas kenapa Baitul mal bisa kosong, negara harus benar sesuai syariat Islam terlebih dahulu dalam mengalokasikan dan memaksimalkan yang menjadi penerimaan negara. Bukan hanya difokuskan pada pajak saja seperti hari ini. 

Penerimaan negara di dalam ekonomi Islam ada 12 pos (Ustaz Dwi Condro/APBN perspektif Islam: Tanpa pajak & utang/ Core ISEC TV Youtube Channel), terdiri dari sektor kepemilikan negara yang terdiri atas: jizyah, kharaj, ghanimah, fa’i, 'usyur, khumus, harta tanpa ahli waris, harta orang murtad, berbagai lahan, dan bangunan milik negara. Dari sektor kepemilikan umum terdiri dari barang yang menjadi kebutuhan umum, tambang dalam jumlah besar, barang yang tidak dapat dimiliki individu (jalan, jembatan, pelabuhan, dan lain-lain). Sektor kepemilikan individu masuk ke dalam mekanisme pasar syari'at terlebih dahulu, kemudian baru muncul zakat, infak, dan shadaqoh. Jadi ada 11 pos penerimaan negara. Apabila kosong, maka baru boleh menarik pajak (dharibah).

Sistem ekonomi Islam membuat negara mandiri dalam hal APBN. Juga tidak tergantung pada mata uang asing karena dinar dan dirham menjadi alat tukar yang tidak akan mengakibatkan inflasi. Pemahaman tentang utang pun berbeda dengan sistem sekarang yang mengambil kebijakan pembiayaan utang untuk mewujudkan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Wallahu a'lam bishawab. [NFY]

Posting Komentar

0 Komentar