Subscribe Us

SEMBAKO DIPAJAKI, RAKYAT KIAN MENJERIT

Oleh Fathiyaturrahmi
(Aktivis Menulis Kreatif)


Vivisualiterasi.com-Pandemi Covid-19 belum jugan memperlihatkan tanda-tanda akan berlalu. Dampak yang ditimbulkan pun semakin kompleks. Tak hanya kesehatan, seluruh sektor terdampak. Hal ini membuat masyarakat semakin tidak tentram.  
Kondisi masyarakat yang sudah seperti ini semakin dibuat gelisah oleh munculnya wacana pemerintah menaikkan pajak sembako di tengah pandemi. Sontak hal ini menuai kritik dari berbagai pihak. Diketahui rencana kebijakan ini akan tertuang dalam perluasan objek PPN yang diatur dalam revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). (cnnindonesia.com, 12/06/2021)

Sembako sebagai barang yang sangat dibutuhkan oleh seluruh rakyat, sebelumnya tidak dikenakan PPN seperti diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 144 Tahun 2000 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 116/PMK.010/2017. Dengan begitu, ada 13 kategori sembako yang nantinya akan dikenai PPN. Antara lain beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran, ubi-ubian, bumbu-bumbuan, dan gula konsumsi. (liputan6.com, 10/06/2021)

Dalam siaran pers, Kamis (10/6/2021), Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menilai, pengenaan pajak pada bahan pangan merupakan kebijakan yang tidak manusiawi. Apalagi rencana ini dibahas di tengah pandemi Covid-19. Tulus mengungkapkan, pengenaan PPN pada barang pokok yang banyak dibutuhkan konsumen akan menjadi beban baru bagi masyarakat. Pengenaan PPN berpotensi menaikkan harga kebutuhan pokok. Kenaikan harga bahan pangan akan lebih parah bila terjadi distorsi pasar saat PPN sudah dinaikkan. (kompas.com, 10/06/2021)

Dikesempatan yang lain, Ketua Umum Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI), Abdullah Mansuri yang menilai rencana kebijakan pemerintah ini sangat tidak tepat. Apalagi, isu PPN sembako ini bergulir saat pandemi. Menurutnya, pemerintah harusnya memberi subsidi, bukan justru menarik PPN dari beberapa komoditas sembako.

Senada dengan Tulus Abadi dan Abdullah Mansuri, Kalangan pengusaha pun turut menyampaikan kritiknya. Ketua Pengembangan Restoran Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Susanty Widjaya, menolak rencana ini karena dianggap tidak wajar. Susan menyebut saat pemerintah negara lain tengah gencar memberi subsidi bagi masyarakat di tengah pandemi, Indonesia justru menambah beban masyarakat dengan pungutan PPN. (cnnindonesia.com, 12/06/2021)

Sebagaimana kita ketahui bahwa pajak merupakan tulang punggung ekonomi kapitalis. Karena pajak merupakan sumber pendapatan terbesar sebuah negara. Namun, memungut pajak dari kebutuhan pokok masyarakat adalah sebuah tindakan kezaliman. Karena apabila pajak dikenakan kepada bahan-bahan pokok, maka masyarakat dari semua kalangan akan merasakan kenaikan harga.
 
Rakyat yang sudah terdampak pandemi, dari kehilangan mata pencaharian, sakit, dan kesulitan ekonomi semakin dipersulit oleh pungutan pajak sembako ini. Pemerintah seakan menutup mata akan penderitaan rakyat dan lebih memilih pemulihan ekonomi negara. Rakyat yang seharusnya terjamin kesejahteraannya berbalik dipalak oleh pemerintahnya sendiri.

Sebagai penguasa, seharusnya mengayomi rakyatnya. Namun mereka dengan terang-terangan berbuat zalim dan khianat kepada rakyat. 
Allah Swt. berfirman; “Sesungguhnya kesalahan hanya ada pada orang-orang yangn berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di bumi tanpa (mengindahkan) kebenaran. Mereka itu mendapatkan siksa yang pedih”. (TQS. Asy-Syura’:42)

Rasulullah saw. bersabda; "Barang siapa yang diserahi kepemimpinan terhadap urusan kaum muslimin, namun ia menutup diri tidak mau tahu kebutuhan mereka dan kefakiran mereka, niscaya Allah tidak akan memperhatikan kebutuhannya dan kefakirannya di hari kiamat.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi)

Lantas, Bagaimana Islam Mengatur Pajak?

Sesungguhnya pengaturan pajak dalam Islam (Khilafah) sangat berbeda dengan sistem kapitalis. Pemungutan pajak hanya dilakukan pada saat terjadinya kekosongan di baitulmal yang merupakan sumber pendapatan negara. Pajak ini bersifat insidental yaitu saat negara mengalami kekosongan kas (baitulmal).

Sementara negara harus tetap membiayai kewajiban dan pos-pos. Sehingga, sifat pajak ini adalah fardhu kifayah yang artinya hanya dipungut dari orang-orang kaya saja hingga pembiayaan kewajiban dan pos-pos terpenuhi. Jika dana di baitulmal cukup, maka instrumen pajak tidak diberlakukan lagi.

Mengenai pajak ini, Allah berfirman, "Apa saja harta rampasan (fa-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak yatim, orang-orang miskin dan musafir. Agar harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukumannya." (Al-Hasyr: 7)

Jadi, dalam Khilafah, orang-orang miskin tidak akan menderita karena harus membayar pajak dan orang-orang kaya tidak akan direbut kekayaannya oleh negara. Selain itu, Khilafah juga tidak akan menetapkan biaya apapun dalam pelayanan publik, seperti biaya kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Semuanya diberikan dengan gratis, dan terbaik. Begitu juga negara tidak akan memungut biaya-biaya administrasi, termasuk denda layanan publik, seperti PLN, PDAM, Telkom, dan sebagainya. Termasuk tidak memungut biaya pembuatan SIM, KTP, KK, surat-menyurat, dan sebagainya. Karena semuanya itu sudah menjadi kewajiban negara kepada rakyatnya.

Oleh karena itu, untuk mengatasi terpuruknya ekonomi di masa pandemi ini hendaklah kembali kepada sistem Islam yang diterapkan dalam negara Khilafah. Karena dengan Islam dan Khilafah satu-satunya yang mampu mengembalikan kesejahteraan kepada ummat. Hanya Khilafah yang menerapkan sistem Islam yang mampu mengatasi pandemi dengan benar sehingga kesehatan dan kesejahteraan rakyat dapat terwujud alih-alih dikenai pajak yang mencekik. Wallahualam bis shawab. [NFY]

Posting Komentar

0 Komentar