Subscribe Us

KELANGKAAN PANGAN SUBUR DI SISTEM KAPITALIS, ADA APA?

Oleh Fathunia As`ary
(Aktivis Pendidikan)


Vivisualiterasi.com-Kelangkaan pangan terjadi dan makin parah dibeberapa negara di dunia ini. Krisis pangan di Suriah misalnya, belum terselesaikan hingga kini. Berdasarkan laporan Human Rights Watch, konflik bersenjata selama satu dekade telah menyebabkan kekurangan gandum yang parah di Suriah. Salah satu faktor penyebabnya adalah lahan-lahan pertanian semakin sedikit. Selain itu, banyak pula toko roti yang ikut hancur dan tidak dapat beroperasi selama konflik. Padahal, gandum adalah salah satu makanan pokok di Suriah (republika.com, 30/5/2021). 

Begitu juga di Myanmar, krisis pangan yang terjadi semakin meningkat tajam. Hal itu akibat kudeta militer dan krisis ekonomi yang semakin mendalam, (kompas.com, 22/4/2021). Begitu pula di Indonesia, terjadinya krisis pangan dapat dilihat dari melonjaknya harga bahan pangan di pasaran. 

Indonesia adalah satu dari sekian banyak negara di dunia yang memenuhi kebutuhan pasar dengan proses impor. Barang yang diimpor meliputi bahan pangan seperti kedelai, bawang merah, bawang putih, dan lain-lain. Hal ini dikarenakan Indonesia telah meratifikasi seluruh perjanjian dalam WTO yang mengharuskan penerapan liberalisasi dalam perdagangan. Alhasil, Indonesia terikat untuk mengimplementasikan agreement on agriculture yang berisi pengurangan subsidi ekspor dan negeri serta membuka akses pasar. 
Langkanya pangan dibeberapa negara di dunia adalah bukti adanya kelemahan dalam sistem pemerintahan yang diterapkan di negara-negara dunia. Kelangkaan pangan yang terjadi di Suriah, Myanmar bahkan Indonesia disebabkan dari diterapakan sistem sekuler kapitalis yang melahirkan pemerintah yang tidak mampu meri`ayah rakyatnya. 

Konflik yang terus terjadi di Suriah menunjukkan bahwa rezim yang berkuasa saat ini tidak mampu melindungi rakyat meski mereka memiliki pasukan yang besar. Keadaan umat muslim di Myanmar lebih menyedihkan lagi. Keberadaan mereka sebagai minoritas di tengah-tengah masyarakat Hindu membuat mereka dizalimi tanpa henti. Mereka tidak memiliki pemimpin yang mampu melindungi mereka, apalagi memenuhi kebutuhan pangan mereka. Dengan diterapkanya sistem kapitalis di dunia ini, pemerintah hanya menjadi boneka atau antek barat/asing untuk memeras rakyat bukan mensejahterakan rakyat. Pemerintah tidak mempedulikan kebutuhan rakyatnya.

Di Indonesia, pemerintah hanya berfungsi sebagai regulator dan fasilitator untuk membuat aturan serta regulasi yang semakin memudahkan jalan barat/asing menguasai rantai pasok bahan pangan. Mulai dari produksi hingga konsumsi. Inilah pengaturan kapitalisme yang berorientasi profit bukan kemashlahatan rakyat. Innalillahi! Maka tidak heran kalau kelangkaan bahan pangan akan menimbulkan kenaikan harga yang mencekik rakyat. 

Berbeda dalam pandangan Islam. Islam memiliki konsep jelas dalam pemerintahannya. Tidak hanya memenuhi kebutuhan pangan, pemerintah juga berfungsi sebagai junnah atau perisai umat dari serangan-serangan kezaliman barat-asing (musuh Islam). Nabi Muhammad saw. bersabda:

"Sesungguhnya al-Imam (Khalifah) itu perisai, dimana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dan lain-lain).

Dengan tegaknya pemerintahan Islam, umat Muslim di Suriah, Myanmar, dan negeri-negeri Islam lainnya tidak akan mengalami apa yang mereka alami saat ini. Dalam ekonomi, Islam memiliki konsep yang jelas dalam pengelolaan pangan yaitu dengan visi mewujudkan kemandirian pangan dan jaminan pasokan pangan. Dalam hal visi, Islam memandang pangan adalah salah satu kebutuhan dasar yang harus dipenuhi negara. Maka negara akan melakukan berbagai upaya untuk merealisasikannya seperti peningkatan produktivitas lahan dan produksi pertanian melalui ekstensifikasi pertanian. Hal ini bisa dilakukan dengan menghidupkan tanah-tanah mati. 

Dalam Islam, tanah-tanah mati yaitu tanah yang tidak tampak adanya bekas-bekas diproduktifkan. Bisa dihidupkan oleh siapa saja, baik dengan cara memagarinya dengan maksud untuk memproduktifkannya atau menanaminya dan tanah itu menjadi milik orang yang menghidupkannya. Rasulullah saw. bersabda, “Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR. Tirmidzi, Abu Dawud)

Menurut ar-Rahman al-Maliki dalam buku politik ekonomi Islam (As Siyaasatu Aqtishodiyatu al Mutsla), untuk meningkatkan produktifitas pertanian harus dilakukan kebijakan intensifikasi pertanian yaitu optimalisasi lahan dengan meningkatkan hasil pertanian. Misalnya, meningkatkan kualitas benih, penggunaan obat-obatan, pemanfaatan teknologi, menyebarkan teknik-teknik modern dikalangan para petani, membantu pengadaan benih, serta budidayanya. Negara juga akan memberikan modal yang diperlukan bagi yang tidak mampu sebagai hibah bukan hutang. Dalam hal menjamin pasokan pangan, Islam akan menetapkan mekanisme pasar yang sehat. 

Negara melarang penimbunan, penipuan, praktek ribawi, dan monopoli. Kebijakan pegendalian harga dilakukan melalui mekanisme pasar dengan mengendalikan supply dan demand bukan dengan kebijakan pematokan harga. Dalam hal ekspor impor, Islam akan melihat dan memperhatikan sejauh mana kebutuhan pangan negara. Ekspor dilakukan bila pasokan pangan negara terpenuhi dan mengalami surplus. Impor dilakukan dengan beberapa hal yang harus diperhatikan. Dalam Islam, untuk melakukan hubungan atau kerjasama luar negeri, harus dilihat dengan negara mana kerja sama itu akan dijalin. Apakah negara kafir harbi, harbi fi`lan atau harbi mu`aahad. Perjanjian boleh dijalin dengan kafir harbi dan kafir mu`aahad dan sama sekali tidak boleh bekerjasama dengan kafir harbi fi`lan. Demikian Islam memberikan seperangkat sistem komprehensif dalam mengatasi pangan. Dengan sistem Islam yang terwujud dalam sebuah negara. Kemandirian pangan pasti akan terwujud. Wallahu a'lam. [IRP]

Posting Komentar

0 Komentar