Subscribe Us

BUKA TUTUP WISATA, MEMBINGUNGKAN DAN MERUGIKAN RAKYAT

Oleh Ulif Fitriana 
(Aktivis Dakwah Muslimah)


Vivisualiterasi.com-Banyak yang bingung dan mencibir kebijakan pemerintah dalam hal pelarang mudik. Akan tetapi, disaat yang sama membolehkan tempat-tempat wisata di buka. Kebijakan ini dinilai tidak konsisten, karena jika tujuan pelarangan mudik untuk memutus rantai penyebaran Covid-19 bukankah pembukaannya justru bertolak belakang dengan tujuan tersebut.

Sebelumnya, seorang epidemiolog Universitas Gadjah Mada Bayu Satria Wiratama mengatakan, pihaknya mengapresiasi langkah pemerintah melarang mudik lebaran. Akan tetapi, membuka lokasi wisata penuh dengan risiko. “Hanya saja, langkah untuk tetap membuka wisata itu penuh risiko juga,” kata Bayu (kompas.com, 24/04/21). Hal senada juga disampaikan Epidemiolog dari Griffith University Australia Dicky Budiman mengatakan, pemerintah daerah sebaiknya memastikan tempat wisata yang dibuka menerapkan protokol kesehatan secara ketat. “Jika ada yang tidak disiplin maka ada sanksi penutupan.” kata Dicky. Dia mengingatkan, peningkatan kasus Covid-19 dibeberapa negara yang melakukan pelonggaran tempat wisata, jangan sampai terulang di Indonesia. (kompas.com, 03/05/2021)

Pengunjung Membludak, Protokol Kesehatan Dilanggar

Apa yang dikhawatirkan pun terjadi, pada hari kedua lebaran jumlah pengunjung Pantai Ancol membludak hingga 39 ribu orang. Mereka terlihat asyik mandi di pantai mengindahkan protokol kesehatan (Prokes). Padahal, bisa terjadi klaster baru penularan Covid-19 di sana. (nasional.sindonews.com, 16/5/2021).

Banyak warga menyamakan kerumunan kunjungan wisatawan yang mandi di Pantai Ancol, mirip dengan yang dilakukan warga India saat melakukan ritual mandi di Sungai Gangga. Aktivitas tersebut diduga menjadi pemicu terjadinya gelombang "tsunami" Covid-19.

Hal serupa terjadi pula di tempat wisata yang lainnya seperti di Pantai Batu Karas Pangandaran. Wisatawan meningkat signifikan. Banyak pengunjung abai dengan protokol kesehatan.

Buka Tutup Wisata, Rakyat Dirugikan Secara Ekonomi-Kesehatan

Wakil Ketua DPR Bidang Korkesra Abdul Muhaimin Iskandar meminta Pemprov DKI lebih bijak dalam membuat sebuah kebijakan. Menurutnya, kebijakan membuka Pantai Ancol, jelas menimbulkan kerumunan yang sulit dikendalikan. "Kalau hari ini akhirnya di tutup, ya saya rasa terlambat. Penutupan jangan bersifat sementara, untuk hari ini saja. Keselamatan rakyat harus diprioritaskan. Jangan membuat kebijakan yang justru mengorbankan rakyat. Jangan sampai apa yang terjadi di India, akhirnya sama terjadi di Indonesia. Sebagai akibat sebuah kebijakan yang tidak tepat." Kata Ketua Umum DPP PKB ini.

Meskipun pada akhirnya pemerintah daerah memutuskan untuk menutup sementara akibat membludaknya pengunjung di berbagai tempat wisata. Seperti Ancol, Taman Mini Indonesia Indah, Taman Margasatwa Ragunan, Pantai Pangandaran, Ciwidey, dan Pantai Carita. Akan tetapi, muncul masalah lainnya. Banyak pihak, terutama dari pengelola tempat wisata dan pedagang yang mengeluhkan hal ini. Salah satu pengelola wisata permainan di Pantai Carita mengeluhkan, ia kebingungan membayarkan gaji pegawainya dan biaya operasional selama tempat wisata di buka, karena sebelumnya tempat wisata dibuka dan mendadak ditutup. Pedagang kecil di sekitar pantai juga mengatakan berutang dulu untuk modal berdagang. Kini, mereka harus menanggung rugi karena tempat wisata ditutup oleh pemerintah. (viva.co.id, 16/05/2021)

Kebijakan Tidak Solutif 

Dari sini semakin nampak arah kebijakan pemerintah yang setengah hati. Di satu sisi ingin memutus rantai pandemi, sedangkan di sisi lain tetap ingin menggenjot Pendapatan Asli Daerah (PAD). Hal ini terjadi karena penerapan  sistem ekonomi demokrasi yang memang sejak awal tidak bisa diandalkan untuk menjaga kestabilan negara. Ujungnya tak satupun target dicapai ekonomi anjlok, kesehatan masyarakat juga berada di ujung tanduk.

Berbeda dengan Islam yang terbukti memiliki solusi atasi krisis baik ekonomi maupun pandemi. Dalam masalah ekonomi misalnya, Islam memiliki aturan bahwa sumber daya alam yang melimpah jumlahnya adalah milik umat yang dikelola untuk kemaslahatan umat. Selain itu sistem ekonomi Islam adalah ekonomi non ribawi yang terbukti tahan terhadap krisis. Sedangkan saat ini, negara dengan sistem demokrasi kapitalisnya justru memprivatisasi sumber daya alam, sehingga ekonomi rentan krisis.

Sedangkan dalam penanganan pandemi, tercatat dalam sejarah bagaimana negara Islam mampu menuntaskan masalah tersebut hanya dalam waktu singkat. Kuncinya ada pada ketegasan dan konsistensi penguasa. Berbeda dengan kebijakan atasi pandemi hari ini cenderung terkesan plin plan dan setengah hati. Mulai dari keterlambatan lockdown, dibiarkannya TKA masuk ke dalam negeri, pelanggaran prokes dalam Pilkada dan lain-lain. 

Tentu saja tak bisa dipungkiri semuanya berkaitan dengan paradigma kepemimpinan. Kepemimpinan dalam Islam berasaskan akidah Islam yang merupakan asas kehidupan yang shahih karena berasal dari Sang Pencipta. Aturan-aturan yang dihasilkan senantiasa mampu menjadi problem solver atas seluruh permasalahan kehidupan. Pemimpin yang memegang amanah adalah orang yang bertakwa, melayani umat dengan segenap jiwa dan raga karena meyakini bahwa kelak ada pertanggungjawaban atas kepemimpinan mereka.

Sedangkan kepemimpinan dalam demokrasi asasnya adalah sekularisme yang memisahkan antara agama dan kehidupan. Aturan-aturan yang dihasilkan berasal dari hawa nafsu manusia yang lemah dan terbatas. Alih-alih menjadi problem solver atas permasalahan kehidupan yang ada, justru menimbulkan kerusakan di mana-mana. Para pemimpin yang memegang tampuk kepemimpinan kebanyakan adalah mereka yang memandang jabatan sebagai peluang untuk mengeruk keuntungan duniawi.

Oleh karena itu, sudah sewajarnya bagi umat hari ini untuk memperjuangkan terwujudnya kembali kepemimpinan Islam yang bernama Khilafah. Institusi tersebut menerapkan aturan Islam secara kafah yang mampu mensejahterakan umat dan menjadi rahmat bagi alam semesta. [IRP]

Posting Komentar

0 Komentar