Subscribe Us

HUKUM SAYEMBARA BENDERA TAUHID

Oleh: KH. M. Shiddiq Al Jawi

Vivisualiterasi.com-Tanya:
Ustadz, afwan mau tanya, saat ini ramai sayembara tantangan terhadap Prof. Mahfud MD terkait tawaran untuk berfoto sambil memegang bendera tauhid liwa dan rayah, dengan janji imbalan 120 juta. Pertanyaan saya, bagaimanakah hukumnya? (Vivi, Makassar)

Jawab:

Sayembara dalam fiqih Islam disebut _ju’alah_ (dapat dibaca _ji’alah_), yang dalam hukum positif disebut “janji memberi hadiah” _(al wa’du bi al jaa`izah; promise of reward)_ (Wahbah Zuhaili, _Financial Transactions in Islamic Jurisprudence,_ Vol. I, hlm. 435).

Dalam fiqih Islam, _ju’alah_ adalah janji memberi imbalan yang diketahui untuk suatu pekerjaan yang diketahui, atau pekerjaan yang tidak diketahui yang sulit/berat dilakukan. _(iltizaamu ‘iwadhin ma’luumin ‘alaa ‘amalin ma’luumin aw majhuulin ya’suru ‘amaluhu)._

Contoh, seseorang mengumumkan,“Barangsiapa yang dapat mengembalikan budakku yang lari, maka dia akan mendapat imbalan sekian.” (Imam Syarbaini Al Khathib, _Mughni Muhtaj,_ Juz II, hlm. 429). 

Hukum ju’alah adalah boleh menurut jumhur ulama, yaitu ulama Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah. Sedangkan ulama Hanafiyah mengharamkan, kecuali ju’alah untuk mencari budak yang lari. _(Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah,_ Juz XV, hlm. 208; Dubyan bin Muhammad Ad Dubyan, _Al Mu’amalat Al Maliyyah Ashalah wa Mu’asharah,_ Juz X, hlm. 18).

Dalil bolehnya ju’alah Al Qur`an dan As Sunnah. Dalil Al Qur`an firman Allah SWT :

ÙˆَÙ„ِÙ…َÙ†ْ جَاءَ بِÙ‡ِ Ø­ِÙ…ْÙ„ُ بَعِيرٍ

"Dan barangsiapa yang dapat mengembalikan [piala raja yang hilang] akan memperoleh bahan makanan seberat beban unta." (QS Yusuf [12] : 72).

Dalam ayat ini, firman Allah SWT yang berbunyi,”liman jaa’a bihi himlu ba’iir,” (barangsiapa yang dapat mengembalikan [piala raja yang hilang] akan memperoleh bahan makanan seberat beban unta), adalah dalil bolehnya ju’alah. _(Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah,_ Juz XV, hlm. 208).

Sebagian ulama berpendapat hukum dalam ayat itu adalah *Syar’u Man Qablana* (syariat sebelum kita), yaitu syariat Nabi Yusuf AS. Namun Imam Taqiyuddin An Nabhani mengatakan, jika terdapat dalil bahwa syariat sebelum kita juga berlaku untuk kita, maka syariat itu juga berlaku untuk kita. (Taqiyuddin An Nabhani, _Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah,_ Juz III, hlm. 412).

Dalam hal ini telah terdapat dalil bahwa ketentuan dalam ayat tersebut juga berlaku untuk kita umat Muhammad SAW. Diriwayatkan Abu Sa’id Al Khudri RA, pernah serombongan shahabat Nabi SAW dalam suatu perjalanan sampai di suatu kampung Arab. Mereka minta jamuan makan tapi penduduk kampung itu tidak bersedia. Kebetulan pimpinan kaum itu digigit ular dan sudah diobati tapi tidak sembuh. Salah seorang shahabat kemudian merukyah orang yang digigit ular dengan membaca surat al Fatihah hingga sembuh. Shahabat itu lalu mendapat upah berupa sekawanan kambing _(qathii’ min al ghanam)._ Setelah mereka bertemu Rasulullah SAW dan melaporkan kejadian itu, Rasulullah SAW membenarkannya (tidak melarangnya). (HR Bukhari no 5736; Muslim no 2201).

Para fuqoha telah menjelaskan secara rinci rukun-rukun dan syarat-syarat dari ju’alah ini. Di antara syaratnya, pekerjaan yang dilakukan wajib berupa aktivitas yang mubah (dibolehkan syariah), seperti mencari budak yang hilang, dsb. Mengenai upah, wajib berupa sesuatu yang diketahui jumlahnya dengan jelas (ma’lum), misalnya,”Uang sebesar Rp 10 juta.” (Dubyan bin Muhammad Ad Dubyan, _Al Mu’amalat Al Maliyyah Ashalah wa Mu’asharah,_ Juz X, hlm. 65 & 79).

Berdasarkan penjelasan ini, sayembara untuk berfoto sambil memegang bendera tauhid yang ditanyakan di atas, hukumnya boleh menurut syariah. Karena termasuk dalam ju’alah yang telah dibolehkan dalam syariah. Aktivitas yang diminta juga mubah, yaitu membawa bendera tauhid, dan upahnya juga jelas, yaitu imbalan sebesar Rp 120 juta. Wallahu a’lam.

Surabaya, 19 Agustus 2019
M. Shiddiq Al Jawi

Posting Komentar

1 Komentar