Subscribe Us

KONFLIK SOSIAL MAKIN MEWABAH, IMBAS ATURAN YANG TAK TENTU ARAH

Oleh Wilma Indah MTY
(Kontributor Media Vivisualiterasi.com)


Vivisualiterasi.com-Pandemi yang tak kunjung usai telah merugikan berbagai lini kehidupan. Masalah ekonomi, sosial, dan politik telah menuai imbasnya. Terlebih dengan penanganan pandemi yang tidak efektif menjadikan wabah ini semakin panjang buntutnya.  

Munculnya berbagai varian baru, minimnya fasilitas kesehatan seperti langkanya tabung oksigen hingga kontroversi di kalangan masyarakat yang memperdebatkan apakah Covid-19 itu benar-benar ada atau hanya konspirasi.
 
Kondisi yang karut marut ini semakin menjadikan suasana kehidupan masyarakat tak terkendali. Konflik antar masyarakat dengan para tenaga kesehatan dan petugas pemakaman semakin menjadi. Tercatat dalam beberapa bulan ini berbagai macam konflik ramai ditemui dalam masyarakat.  

Kabar penganiayaan terhadap tim pemakaman jenazah pasien Covid-19 oleh warga di Desa Jatian, Kecamatan Pakusari, Kabupaten Jember telah viral di media sosial. Diduga rombongan pembawa jenazah Covid-19 telah dihadang oleh sejumlah warga yang ingin mengambil paksa jenazah untuk dimandikan. Petugas yang membawa jenazah kemudian dipukuli dan dilempari batu oleh warga. (kompas.com, 24/07/2021)

Berita lain yaitu pasien Covid-19 dianiaya warga hingga babak belur dikarenakan pasien tersebut menolak untuk melakukan isoman di dalam hutan yang jauh dari keramaian dan tanpa penerangan. Hal ini dialami oleh Salamat Sianipar (45), warga Desa Sianipar Bulu Silape, Kecamatan Silaen, Kabupaten Toba, Sumatera Utara. Alih-alih perlakuan baik yang ia dapati, justru ia menjadi korban amukan warga. (kompas.com, 24/7/2021)

Tak hanya warga penyitas Covid-19 maupun petugas pemakaman yang menjadi korban, banyak para nakes (tenaga kesehatan) yang tak luput dari amukan warga akibat dari ketidakpercayaan mereka terhadap pelayanan kesehatan yang ada. 

Minimnya pemahaman masyarakat tentang wabah ini membuat wabah semakin sulit teratasi. Masyarakat susah membedakan berita yang benar dan salah. Di samping itu juga tak sedikit masyarakat yang mengabaikan prokes lantaran mereka tidak percaya adanya wabah ini. Berkerumun tanpa menggunakan masker, menggelar dan menghadiri acara-acara hajatan, serta memberikan justifikasi ‘dicovidkan’ ketika terpapar bahkan sampai meninggal. 

Keadaan psikososial masyarakat yang demikian semakin menambah panjang rentetan masalah akibat wabah ini. Padahal di saat yang sama, butuh adanya kerjasama dari semua pihak agar pandemi segera berakhir. Termasuk masyarakat sebagai pelaku utama penyebaran Covid-19.

Namun, masyarakat tidak dapat begitu saja disalahkan. Dimulai dari kesimpangsiuran berita tentang kebenaran wabah ini yang merupakan buah dari kurang efektifnya negara dalam mengedukasi masyarakat. Ditambah dengan kekecewaan masyarakat ketika mendapati fasilitas kesehatan yang kurang memadai dan mereka harus bertaruh nyawa ketika menjadi penyitas Covid-19. 

Tak hanya itu 'Herd Immunity' yang menjadi kebijakan pemerintah bersama dengan turunan kebijakan lainnya. Seperti diterapkannya new normal, PPKM, dan lain-lain semakin menambah derita masyarakat. Kebijakan ini tidak diiringi jaminan hidup yang diberikan pemerintah kepada masyarakat. Hingga pada akhirnya banyak rakyat yang harus bertaruh nyawa untuk memenuhi kebutuhan hidup di luar rumah. Bahkan banyak dari mereka yang memilih meninggal terpapar wabah daripada karena kelaparan. 

Sejak sebelum ada pandemi, sudah terlihat kasat mata bahwa penguasa hari ini selalu mengesampingkan urusan rakyat dibanding para kapitalis. Biaya pendidikan dan kesehatan mahal, angka pengangguran serta kemiskinan yang tinggi. Namun dengan mudah menggelar karpet merah untuk korporasi. 

Terlebih saat terdengar kabar wabah ini mulai ada, para penguasa justru asik bercanda ria dan meremehkan kondisi yang ada. Pandemi pun menyebar ke seluruh wilayah negara, namun keselamatan rakyat tetaplah tidak menjadi hal yang utama. Angka kematian pun semakin naik, namun yang pemerintah lakukan hanyalah memainkan data agar masyarakat tidak panik. 

Dengan dalih penyelamatan ekonomi, pemerintah tetap tak mau menerapkan 'lock down' karena dianggap akan memberatkan anggaran negara. Penyerahan bantuan sosial pun dinilai tidak efektif untuk meringankan beban masyarakat. Masyarakat bertanya-tanya tentang transparansi dana yang diberikan kepada mereka. Melihat dari tidak meratanya bantuan yang diterima oleh masyarakat. Rasa ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah semakin jelas. Terbukti bahwa dana bansos justru dikorupsi oleh pejabat. 

Namun, di sisi lain pemerintah tak pernah absen untuk terus menggelontorkan dana bagi para investor. Pembangunan ibukota baru, proyek kereta cepat dan pembangunan infrastruktur yang begitu gencar dilakukan saat pandemi. Tidak hanya itu, pandemi yang berlangsung hampir dua tahun ini telah menghilangkan empati para penguasa. Baliho-baliho calon pemimpin menuju 2024 sudah berebut tempat untuk unjuk diri di sepanjang jalan. 

Keadaan pun semakin gamblang dilihat dari para penguasa hari ini hanya sibuk memikirkan urusan pribadi. Sejak sistem demokrasi berkuasa, penguasa tak dapat membuat rakyat sejahtera, bahkan saat pandemi melanda penguasa telah gagal untuk mencegah dan mengatasinya. Hal ini berimbas terhadap rakyat yang semakin menderita. 

Ternyata dengan bergonta-gantinya penguasa tak dapat mengubah keadaan negara. Masyarakat harus sadar jika akar permasalahan yang ada membawa psikososial masyarakat yang semakin bergejolak hingga menyebabkan konflik horizontal. Kerusakan yang ada disebabkan oleh sistem demokrasi yang sedang diterapkan. Jika ditanya apakah jawaban untuk menyelesaikan segala permasalahan yang ada? Adakah solusi yang benar-benar solutif untuk menjawab semua problematika kehidupan yang sudah rusak?  

Hanya ada satu jawaban untuk menjawab pertanyaan tersebut, yaitu Islam. Islam bukan hanya sebuah agama yang mengatur urusan ibadah ritual semata. Namun Islam adalah mabda yang menjadi pandangan hidup untuk semua manusia. Allah sebagai pencipta manusia telah mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Dari bangun tidur hingga membangun negara. Semua telah Allah atur demi rahmat yang melingkupi semesta. 

Allah Swt. berfirman dalam QS. al-Anbiya Ayat 107,

Ù„ِÙ„ْعَالَÙ…ِينَ رَØ­ْÙ…َØ©ً Ø¥ِÙ„َّا Ø£َرْسَÙ„ْÙ†َاكَ ÙˆَÙ…َا

Yang artinya, “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”

Allah telah menurunkan aturan Islam yang sempurna melalui utusannya, Rasulullah saw. Beliau mencontohkan Islam benar-benar menjadi rahmat bagi seluruh alam. Setiap apa yang beliau lakukan adalah teladan untuk dilakukan seluruh manusia hingga akhir zaman. Dan keteladanan beliau pun telah dicontoh oleh manusia sepeninggal beliau selama 1300 tahun lamanya. Sebuah masa yang ditemukan seorang pemimpin yang amanah dalam mengurus urusan rakyat. Rakyat hidup sejahtera dan dalam keadilan yang nyata. 

Sayang, kejumudan berpikir manusia untuk menuruti hawa nafsunya telah meruntuhkan sistem yang bersumber dari Illahi dan mengganti dengan sistem buatan sendiri. Rakyat terzalimi akibat paradigma penguasa yang bertakhta tak lagi bertujuan mengurusi rakyatnya.  

Maka sudah jelas bahwa saatnya kita kembali untuk menerapkan sistem yang bersumber dari Sang Pencipta. Sistem yang berlandaskan pada akidah yang sahih. Dengan demikian, rahmat dan keberkahan akan tercurah di dunia. Rakyat hidup sejahtera tanpa derita. Wallahu a'lam. [IRP]

Posting Komentar

0 Komentar