Subscribe Us

ADA APA DI BALIK BOCORNYA DANA BANTUAN SOSIAL?

Oleh Ema Darmawaty 
(Aktivis Muslimah Semarang)


Vivisualiterasi.com-Adanya bantuan modal UMKM dari pemerintah memberikan angin segar bagi pelaku usaha ini, meski tak menyelesaikan sampai ke akar permasalahan namun paling tidak untuk bertahan di situasi pandemi. Sayang seribu sayang, kembali lagi bantuan pemerintah ini bermasalah karena ternyata melenceng dari sasaran yang di tuju yaitu pelaku UMKM. Sejatinya mereka sangat membutuhkan bantuan ini. 

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pun menyatakan penyaluran Bantuan Produktif Usaha Mikro (BPUM) yang dilaksanakan Kementerian Koperasi dan UKM dalam rangka penanganan dampak Covid-19 tidak tepat sasaran. Laporan Iktisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II Tahun 2020 BPK mencatat Rp1,18 triliun terdistribusi untuk 414.590 penerima bermasalah. Berdasarkan catatan BPK, dana BPUM yang gagal disalurkan ke penerima belum dikembalikan ke kas negara sebesar Rp23,5 miliar dan double debet pada penerima BPUM ke rekening RPL pada 2 dan 8 Maret 2021 sebesar Rp43.200.000,-. Sampai dengan pemeriksaan berakhir, dana BPUM gagal salur sebesar Rp42.200.000,-.

Tak hanya itu, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga menemukan pelaksanaan Program Indonesia Pintar (PIP) belum memadai. BPK mencatat, dana bantuan PIP sebesar Rp 2,86 triliun yang diberikan kepada sebanyak 5.364.986 siswa tidak tepat sasaran. 

Selain itu, sebanyak 2.455.174 siswa pemilik KIP dan/atau yang berasal dari keluarga peserta PKH atau KKS kehilangan kesempatan karena tidak diusulkan dalam SK penerimaan bantuan PIP. Ini disebabkan karena data yang digunakan adalah data pokok pendidikan (dapodik). Sedangkan, Nomor Induk Siswa Nasional dan Nomor Induk Kependudukan belum digunakan sebagai acuan untuk pemberian bantuan.

Hal ini mengakibatkan penyaluran bantuan untuk PIP belum tepat sasaran dan masih banyak anak yang seharusnya mendapatkan bantuan justru tidak menerima.

Demokrasi tak Becus Urusi Rakyat

Dalam birokrasi demokrasi, dana tidak tepat sasaran sudah menjadi hal lumrah. Apakah selalu terkait masalah teknis dalam pembagian bantuan? Ternyata tidak, hal ini sudah menjadi penyakit bawaan sistem kapitalisme. Jika ditelusuri lebih dalam banyak fakta di tengah masyarakat bagaimana dana bantuan tak dapat di terima oleh yang berhak. Misalnya saja tentang akurasi data. Data yang tidak akurat mengakibatkan bantuan yang disalurkan salah sasaran, bahkan ada yang menerima bantuan ganda. Di sisi lain, ada warga yang seharusnya diprioritaskan mendapat bantuan, justru tidak mendapatkannya. 

Persoalan pun tidak berhenti sampai di sana, kecemburuan sosial terjadi lantaran warga yang seharusnya diprioritaskan mendapat bantuan justru tidak mendapatkannya. Kemudian terkait dana pendidikan, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 31 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan, dan ayat (3) menegaskan bahwa Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang. 

Untuk itu, seluruh komponen bangsa wajib mencerdaskan kehidupan bangsa yang merupakan salah satu tujuan negara Indonesia. Dalam Indang-undang tersebut dijelaskan bahwa pendidikan menjadi tanggung jawab negara, namun pada kenyataannya tidak semua anak bisa menikmati pendidikan dari bantuan pemerintah, jika pun mendapat bantuan, butuh kesabaran menjalani birokrasinya yang berbelit.

Misalnya saja siswa yang belum menerima KIP tetapi masuk persyaratan layak menerima bantuan, dapat menggunakan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) sebagai syarat pendaftaran penerima KIP di Dapodik. Sebab, kriteria penerima KIP adalah anak sekolah usia 6—21 tahun dan berasal dari keluarga miskin, rentan miskin. Mereka adalah pemilik Kartu Keluarga Sejahtera (KKS), peserta Program Keluarga Harapan (PKH), yatim piatu, penyandang disabilitas, atau korban bencana alam/musibah. 

Apakah negara hanya mengurusi masyarakat miskin saja? Bukankah pendidikan sebagai kebutuhan yang menjadi hak seluruh warga negara tanpa diskriminasi? Pendidikan merupakan kebutuhan publik yang wajib diselenggarakan oleh negara dan dibiayai total dari APBN negara tanpa memungut tarikan dari rakyat.

Inilah persoalan paradigmatis yang terjadi dalam sistem demokrasi. Maka, jika dana bantuan mengalami masalah, bukan semata-mata karena teknis belaka tapi dampak dari penerapan sistem demokrasi kapitalisme.
 
Islam Menjamin Pemenuhan Kebutuhan Rakyat
 
Rasulullah Saw. bersabda, “Seorang imam (khalifah/kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Syariat Islam sangat luar biasa dalam mengatur dan menyelesaikan masalah. Termasuk masalah pemenuhan kebutuhan publik seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan, begitu pun dengan infrastruktur, tidak dibebankan kepada individu, bahkan pemenuhannya menjadi tanggung jawab negara secara langsung.

Dalam bidang pendidikan berdasarkan Sirah Nabi Saw. dan Tarikh Daulah Khilafah Islam (Al-Baghdadi, 1996), negara memberikan jaminan pendidikan secara gratis dan kesempatan seluas-luasnya bagi seluruh warga negara muslim dan nonmuslim, kaya maupun miskin, untuk melanjutkan pendidikan ke tahapan yang lebih tinggi dengan fasilitas (sarana dan prasarana) yang disediakan negara.

Di Madrasah al-Muntashiriah yang didirikan Khalifah al-Mu'tazim Billah di Kota Baghdad, setiap siswa menerima beasiswa berupa emas seharga satu dinar (4,25 gram emas). Kehidupan keseharian mereka dijamin sepenuhnya oleh negara. Fasilitas sekolah disediakan secara gratis, seperti perpustakaan beserta isinya, rumah sakit, dan pemandian. Semuanya bisa dinikmati oleh semua lapisan rakyat tanpa membedakan kaya dan miskin, yang miskin juga tidak merasa malu dan kesulitan mendapatkan haknya sedangkan yang kaya tidak dibebani dengan pajak setiap saat. Karena pajak hanya bersifat sementara saja, hanya saat baitul mal benar-benar mengalami kekosongan kas berbeda dengan pajak dalam sistem demokrasi kapitalisme.
 
Jika dalam sistem Islam kebutuhan publik disediakan, diberikan fasilitas-fasilitas yang memudahkan tanpa harus menunggu pandemi untuk mendapatkan dana bantuan yang itu pun bocor ke mana-mana. Maka, mengapa kita tidak memilih Islam sebagai hukum yang mengatur kehidupan kita dalam berbangsa dan bernegara? Tidak cukupkah penderitaan kita di bawah sistem demokrasi? Sudah saatnya kita satukan langkah menuju tegaknya Daulah Islamiyah demi kehidupan yang sejahtera di dunia  hingga akhirat. Wallahu a'lam. [IRP]

Posting Komentar

0 Komentar